Nikah beda agama

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis/suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’.

Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuatsebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalammembentuk suatu keluarga atau rumah tangga.

Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang. Seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.

Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam. Hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau. Seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada.Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.

Pernikahan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkutakidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berartimenyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai dengan hukumagamanya masing-masing.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana hukum pernikahan beda agama dalam Islam?
  2. Bagaimana hukum pernikahan beda agama di negara Indonesia sendiri?

 

 BAB II

PEMBAHASAN

Hukum pernikahan beda agama adalah sesuatu yang sangat rumit. Banyak terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini di kalangan para ulama.

1. Pernikahan Beda Agama dalam Hukum Islam

Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2 kasus keadaan, antara lain:

Kasus 1:   Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim

Kasus 2:   Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim

Pada kasus 1 pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita muslim haram hukumnya dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim. Al-Quran menjelaskan dalam surat Al-Baqarah 221:“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.(QS. Al-Baqarah: 221)

Sedang pada kasus ke-2,seorang laki-laki muslim dilarang menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 5 “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar masnikah mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”.(QS. Al-Maaidah: 5)

Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa baik laki-laki ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh seorang musyrik. Dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang laki-laki, boleh menikahi ahli kitab. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah penganut Injil, ataupun Taurat yang ada pada saat ini.Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat mengakui adanya Allah akan tetapi tidak mengakui adanya Muhammad.

(http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-negara/)

Banyak ulama yang menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yang sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yang dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang.

Dari sebuah literatur, didapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.

Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi, dan pencurian sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral, dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.

Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”

Sementara itu, para jumhur sahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.

Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.

Pendapat yang mengatakan bahwa Nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa Nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.

Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non Muslim.

(http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id=111)

Masalah wanita muslimah menikah dengan lelaki non Muslim baik ahli kitab maupun tidak hingga kini masih menjadi fenomena yang mencuat di permuakaan. Dahulu, diberitakan:

“Terjadi sejumlah wanita muslimah di Batusangkar, Sumatera Barat dan lainnya telah dinikahi oleh Lelaki Nashroni”.

Masalah bahaya ini semakin diperparah oleh ulah para pengibar liberalisme yang banyak menyebarkan pemikiran bervirus bahaya kepada umat. Lihatlah ungkapan mereka berikut yang dengan terang-terangan menggugat hukum Allah:

  • Ø  “Soal pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaanya”.
  • Ulil Abshor Abdalla juga berkata: “Larangan nikahbeda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus takut nikah dengan yang di luar Islam…“Katanya juga “Larangan nikahbeda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non Islam, sudah tidak releven lagi”.

Banyaknya syubhat seperti ini hendaknya menjadikan kita lebih mendekatkan diri kepada Allah, menyibukkan dengan ibadah, dan bersemangat menuntut ilmu agar selamat dari fitnah syubhat dan syahwat yang kencang menerpa pada zaman ini.Dan yakinlah bahwa di balik semua badai terpaan itu pasti ada hikmah Allah yang indah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Termasuk sunnatullah, apabila Dia ingin menampakkan agamaNya, maka dia membangkitkan para penentang agama, sehingga Dia akan memenangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, karena kebatilan itu pasti akan hancur binasa”.

Dalil-Dalil Haramnya Nikah Beda Agama

Sungguh aneh tatkala para pengusung libelarisme mengatakan: “Tidak ada dalil Al-Qur’an yang jelas mengharamkan nikah beda agama” padahal Allah telah tegas mengharamkan hal ini dalam Al-Qur’anNya, demikian juga Rasulullah dan ini merupakan kesepakatan ulama sepanjang zaman:

1. Al-Qur’an

Adapun dalam Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang menegaskan haramnya beda agama.

Dalil Pertama:

وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.merekamengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah: 221)

Imam Ibnu Jarir ath-Thobari berkata: “Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan lelaki musyrik mana saja (baik ahli kitab maupun tidak)”.

Imam al-Qurthubi berkata: “Jangan kalian nikahkan wanita muslimah dengan lelaki musyrik. Umat telah bersepakat bahwa orang musyrik tidak boleh menikahi wanita mukminah, karena hal itu merendahkan Islam“.

Al-Baghowi berkata: “Tidak bolehnya wanita muslimah menikah dengan lelaki musyrik merupakan ijma’ (kesepakatan ulama)“.

Dalil Kedua:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Imam Ibnu Katsir berkata: “Ayat inilah yang mengharamkan pernikahan perempuan muslimah dengan lelaki musyrik (non Muslim)”.

Imam asy-Syaukani juga berkata: “Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal (dinikahi) orang kafir”.

2.  Hadits

Hadits Jabir bahwa Nabi bersabda:

نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوُّجُوْنَ نِسَائَنَا

“Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita”.

Ibnu Jarir berkata dalam Tafsirnya 4/367: “Sanad hadits ini sekalipun ada pembicaraan, namun kebenaran isinya merupakan ijma’ umat”. Dan dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/587.

3.  Ijma’

Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan tenang dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang membolehkan nikah beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan mencoba untuk meresahkan umat dan menggugat hukum ini. Di atas, telah kami kemukakan sebagian nukilan ijma’ dari ahli tafsir, kini akan kami tambahkan lagi penukilan ijma’ tersebut:

  1. Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non Muslim haram menikahi wanita muslimah secara mutlak. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam”.
  2. Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli hukum Islam sepekat tentang haramnya pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani atau lainnya”.
  3. Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir”.

4. Kaidah Fiqih

Dalam kaidah fiqih disebutkan:

الأَصْلُ فِي الأَبْضَاعِ التَّحَرِيْمُ

Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram.

Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan.

Kebohongan Seorang Pengusung Liberalisme

Abdul Muqsidh Ghozali dalam dialognya bersama Ulil Abshor ketika membantah ust Hartono Jaiz  pernah berkata: “Kalau di dalam Al-Qur’an diperbolehkan nikah beda agama, maka pak Hartono mengharamkannya. Pak Hartono di sini sedang menciptakan syari’at baru, yang mestinya itu tidak dilakukan.” Lalu dia menukil atsar Umar yang menegur Hudzaifah tatkala menikah dengan wanita ahli kitab, lalu Hudzaifah berkata: Apakah engkau mengharamkannya? Jawab Umar: Tidak. (Buka Mafatihul Ghaib juz 3 hal 63)

Dia juga mengatakan, “Tidak ada dalil yang melarang nikah beda agama.”

Jawaban:

Ucapan ini adalah kebohongan di atas kebohongan yang dimuntahkan oleh seorang pengusung paham liberal yang kini telah meraih doktor padahal dia termasuk pembela Nabi palsu, sekalipun yang dibela sudah mengaku taubat:

  • Pertama: Kebohongan terhadap Al-Qur’an, karena Al-Qur’an tidak pernah membolehkan nikah beda agama, dalam artian seorang non Muslim nikah dengan wanita muslimah, bahkan Al-Qur’an dengan tegas mengharamkannya. (Lihat QS. Al-Baqarah: 221 dan Al-Mumtahanah: 10), yang dibolehkan adalah lelaki muslim nikah dengan wanita ahli kitab. (QS. Al-Maidah: 5)
  • Kedua: Kebohongan terhadap Umar bin Khaththab, karena beliau juga mengharamkan beda agama, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 4/366 bahwa Umar berkata, “Lelaki muslim boleh menikah dengan wanita nashara, tetapi lelaki nashranitidak boleh nikah dengan wanita muslimah.” Lalu katanya: Atsar ini lebih shahih dari atsar sebelumnya (kisah Hudzaifah).
  • Ketiga:Kebohongan terhadap Fakhrur Razi dalam Mafatih Ghaib, sebab beliau juga mengharamkan nikah beda agama. Setelah membawakan atsar Hudzaifah di atas dalam Tafsirnya 2/231, beliau mengiringinya langsung dengan hadits Jabir bahwa Nabi bersabda, “Kita boleh menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi mereka tidak boleh nikah dengan wanita kita.”

Lebih jelas lagi, beliau mengatakan dalam lembar berikutnya 2/232, “Adapun firman Alloh, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beraman” maka tidak ada perselisihan bahwa maksud musyrik di sini adalah umum (baik ahli kitab maupun tidak), maka tidak halal wanita mukmminah dinikahkan dengan pria kafir sama sekali apapun jenis kekufurannya.”

Apakah ahli kitab termasuk kafir dan musyrik?

Kalau ada yang berkata bahwa larangan beda agama itu kalau wanita muslimah nikah dengan lelaki kafir atau musyrik, sedangkan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) tidak termasuk mereka. Kita katakan: Ini adalah suatu kedustaan, karena Allah telah menegaskan bahwa ahli kitab dari Yahudi maupun Nasrani adalah kafir dan musyrik. Demikian juga Rasulullah dan kesepakatan para ulama salaf. Perhatikan firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6)

Perhatikan juga hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ, ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ, إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tanganNya, Tidak ada seorangpun dari umat ini baik Yahudi maupun Nashrani yang mendengar tentangku kemudian dia meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, kecuali dia termasuk ahli neraka.(HR. Muslim 153)

Imam asy-Syathibi berkata: “Kami melihat dan mendengar bahwa kebanyakan Yahudi dan Nashrani mengetahui tentang agama Islam dan banyak mengetahui banyak hal tentang seluk-beluknya, tetapi semua itu tidak bermanfaat bagi mereka selagi mereka tetap di atas kekufuran dengan kesepakatan ahli Islam”.

Jadi, larangan dalam masalah ini mencakup umum, baik ahli kitab maupun tidak.

  • Perhatikan ucapan Imam Syafi’i: “Jika seorang wanita memeluk Islam atau dilahirkan dalam keluarga muslim atau salah seorang dari orang tuanya memeluk Islam ketika ia belum baligh, maka semua laki-laki musyrik, baik ahli kitab maupun animisme, haram menikahinya dalam keadaan apapun”.
  • Demikian juga ucapan al-Kasani: “Tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, maupun yang beragama penyembah patung dan majusi”.

Apalagi, para pengusung paham Liberal ingin mengacaukan istilah, sehingga menurut mereka orang Budha, Hindu, Konghucu dan sebagainya termasuk Ahli kitab, oleh karena itu, dalam Fiqih Lintas Agama mereka mengatakan: “…atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaanya”.

(http://islamlib.com/id/artikel/nikah-beda-agama/)

2.  PernikahanBeda Agama Menurut Hukum Negara

Pernikahan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan.Berdasarkan UU tersebut pernikahan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatukomitmen yang kuat di antara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal iniUndang-Undang Pernikahan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa suatu pernikahan dapat dinyatakan sah, apabiladilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanpasangan yang melakukan pernikahan.

Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah pernikahanmerupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehinggapenentuan boleh tidaknya pernikahan tergantung pada ketentuan agama.Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan pernikahan tidak boleh,maka tidak boleh pula menurut hukum negara.Jadi dalam pernikahanberbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuanagama.

(http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-negara/)

Masalah pernikahanbeda agama telah mendapat perhatian serius para ulama di Tanah Air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini.

Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram.Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim.Pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat.”Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram,” ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.

Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hukum.”Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).

Selain itu, MUI juga menggunakan Alquran surat al-Maidah ayat 5 serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: “Barang siapa telah nikah, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain.”

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989.Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang penikahan beda agama. Secara tegas, ulama Muhammadiyah menyatakan bahwa seorang wanita Muslim dilarang menikah dengan pria non-Muslim. Hal itu sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221, seperti yang telah disebutkan di atas. “Berdasarkan ayat tersebut, laki-laki Mukmin juga dilarang nikah dengan wanita non-Muslim dan wanita Muslim dilarang walinya untuk menikahkan dengan laki-laki non-Muslim,” ungkap ulama Muhammadiyah dalam fatwanya.

Ulama Muhammadiyah pun menyatakan nikahbeda agama juga dilarang dalam agama Nasrani. Dalam perjanjian alam, kitab ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan yang berbeda agama. “Dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

“Jadi, kriteria sahnya pernikahan adalah hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai,” papar ulama Muhammadiyah dalam fatwanya. Ulama Muhammadiyah menilai pernikahan beda agama yang dicatatkan di kantor catatan sipil tetap tak sah nikahnya secara Islam. Hal itu dinilai sebagai sebuah perjanjian yang bersifat administratif.

Ulama Muhammadiyah memang mengakui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya pria Muslim menikahi wanita nonMuslim berdasarkan surat al-Maidah ayat 5. “Namun, hendaknya pula dilihat surat Ali Imran ayat 113, sehingga dapat direnungkan ahli kitab yang bagaimana yang dapat dinikahi laki-laki Muslim,” tutur ulama Muhammadiyah.

Dalam banyak hal, kata ulama Muhammadiyah, pernikahan wanita ahli kitab dengan pria Muslim banyak membawa kemadharatan.”Maka, pernikahan yang demikian juga dilarang.”Abdullah ibnu Umar RA pun melarang pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.

(http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/05/01/113862-hukum-nikah-beda-agama-dalam-islam-dan-kristen-samakah)

1.  Pendapat Tentang  PernikahanBeda Agama:

  • Seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.) menjelaskan dalam bukunya yang bejudul “Pernikahan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda“.Pernikahan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum pernikahan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Pernikahan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.
  • Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Pernikahan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan: “Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama,        kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang pernikahan.

Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: “Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk nikah dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan pernikahan, selama dalam pernikahan dan dalam soal perceraian.”

Khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: “Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu. lalu pindah bergantung kepada “Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat “Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk.

2.  Pernikahan Beda Agama yang Ada Pada Saat Ini

Meskipun sudah dilarang, pernikahan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari Negara. Ada beberapa cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan.

1.  Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.

2.  Salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti agama pasangannya.lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya.

3.  Menikah diluar negri

Untuk pernikahan beda agama yang ada pada saat ini, mantan Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya.  “Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya

Pendapat berbeda disampaikan pengajar hukum Islam di UI Farida Prihatini. Farida menegaskan bahwa MUI melarang pernikahan beda agama. Pada prinsipnya, bukan hanya agama Islam. “Semua agama tidak memperbolehkan nikahbeda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang.Pernikahannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya.Farida jg menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun UU tidak memperbolehkan nikahbeda agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan pernikahan beda agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal,Kantor Catatan Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat KCS adalah sesuai dengan hukum Indonesia.  “Secara hukum tidak sah.Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan. (http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-negara/)

 

 BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

  1. Hukum pernikahan beda agama dalam Islam adalah haram, walaupun banyak perdebatan tentang hal ini.
  2. Hukum pernikahan beda agama di Indonesia juga haram.

 DAFTAR PUSTAKA

Al Hijrah.2005.Hukum Nikah Beda Agama.11 Oktober 2010, http://alhijrah.cidensw.net/index.php?option=com_content&task=view&id=111.

1 Komentar (+add yours?)

  1. Achmad Tadjudin Noor
    Des 08, 2013 @ 22:02:16

    SULIT MEMANG MENENTUKAN HARAM OF TIDAKNYA PERKAWINAN BEDA AGAMA. SAYA PRIBADI YANG PRINSIP ADALAH SALING MENCINTAI, SALING MENGHORMATI MASING2 AGAMANYA, BOLEH BERUSAHA MENGAJAK PASANGAN KITA UNTUK IKUT DENGAN AGAMA KITA TETAPI TIDAK BOLEH DIPAKSAKAN KARENA AGAMA ADALAH INDUVIDU MASING2, HABLUM MINALLAH, YANG BERTANGGUNG JAWAB LANGSUNG KE ALLAH-
    BUKAN PRODAK MANUSIA. INGAT TUHAN MAHA PENGASIH DAN PENYAYANG, TUHAN MAHA MENGETAHUI.
    CONTOH ORANG ARAB SENDIRI: YASER ARAFAT ISTRINYA ORANG NASRANI. (tentunya beliau lebih tahu hukum2 islam)?….jadi prinsip saya adalah yang pokok adalah Kasih sayang dan cinta yang suci, soal hukumnya saya kira:, kita serahkan kepada Allah subhana wataAllah….Allah maha pengampun, maha besar, maha penyayang…….Amin.

    Balas

Tinggalkan komentar